30 Mei 2012

Jangan Menyerah

SIANG INI aku dan teman-teman datang ke-kampus lebih awal dari biasanya. Kami menggerogoti gazebo di bawah pohon beringin—di depan kelas. Akar-akar panjang yang menggantung di pohon itu menandakan usianya yang sudah tua—setua kampus ini. Cuaca agak sedikit mendung. Sekarang sedang musim hujan. Andri, Aris, dan Ferdi tengah sibuk mengerjakan tugas besar statik. Sementara aku membaca buku tak jelas.

Ada sesuatu yang bergetar di atas pahaku, kupikir gempa lagi. Akhir-akhir ini bumi lagi hobi gempa. Kemarin kukira kursi kamarku yang goyang, nyatanya gempa di Pangandaran terasa sampai Depok. Telepon genggam-ku bergetar. Sebuah panggilan dari nomor yang tak kukenal. Nomor telepon rumah dengan kode wilayah Jakarta. Penelpon gelap pikirku.

Aku suntuk dari pagi sampai siang di kosan melulu. Selain membaca buku, mencuci pakaian dan tidur, tak banyak yang bisa kulakukan. Aku mau cari kerjaan saja. Kerjaan part-time. Tak peduli kerja apa, yang penting halal. Koran dan internet sudah aku telusuri. Semua perusahaan yang berhubungan dengan profesiku sudah aku kirimi surat lamaran.

Ternyata dugaanku benar. Telepon yang kuterima dari sebuah perusahaan yang tempo hari kukirimi lamaran. Aku tak beranjak dari gazebo saat menerima telpon itu. Di antara keberisikan dan daun-daun beringin yang berjatuhan, kukeluarkan buku dan pulpenku. Jl. Pejaten Raya No. 51A, Pasarminggu, Jaksel. Nama perusahaannya PT. Rekamatra, kalo ku gak salah dengar. Kusalin sudah suara dari telpon itu. Besok siang aku disuruh ke sana untuk wawancara.

Aku nervous. Ini pengalaman pertamaku wawancara kerja. Apa yang harus aku lakukan. Waktu tersisa duapuluh jam lagi. Mengapa begitu mendadak seperti hujan lebat turun tanpa mendung sebelumnya. Jangankan persiapan untuk wawancara kerja, alamatnya saja aku gak begitu familiar. Aku belum pernah berkelana sendirian di Jakarta.

Malam ini, empat jam setelah panggilan telepon itu. Aku berangkat ke kampus dengan membawa laptopku. Di kampusku ada hotspot internet. Mencari kepastian perusahaan yang menelponku tadi melalui email yang kukirim. Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah alamat. Belakangan karena frustasi, aku telah banyak sembarang kirim lamaran ke berbagai perusahaan. Saking banyaknya, aku gak tau lagi perusahaan mana saja.

Memang, dari sekian banyak surat lamaran yang aku kirim, hanya dua yang mendapat tanggapan. Salahsatunya PT. Rekamatra itu. Tapi di situ—pihak perusahaannya, menanyakan tentang salary yang aku inginkan dan mengenai studiku yang sekarang masih berjalan. Aku sudah reply, tapi tak ada respon lagi setelah itu. Apa mungkin benar Rekamatra yang menelpon aku siang tadi?. Aku search di Google mengenai Rekamatra, aku tak menemukan apa yang kuinginkan. Positif thinking aja lah. Mau gak mau aku harus datang besok jam dua siang. Biar semua jelas. Yang pasti, malam ini aku gak tenang.

Akhirnya, ku ngantuk juga. Setelah membaca sedikit bab penting dari buku Job Interview yang sempat aku beli di Jogja. Bab penting itu sudah pernah aku baca. Tak kusangka, besok, tepat jam dua siang, bab penting itu akan terealisasikan: Bab 6 “Wawancara Kerja”.



Aku bangun pagi masih dalam keadaan ngantuk berat. Semalam nyawa baru hilang sekitar jam satu dinihari setelah membayangkan kemungkinan yang akan terjadi hari ini. Setelah sholat subuh, biasanya aku tidur lagi sampai tengah hari. Tapi kali ini tidak. Aku takut kebablasan tidur sampai sore, hari ini hari pertamaku wawancara kerja. Pisang takkan berbuah dua kali begitu juga pohon jengkol ditepi danau UI. Dan hidup hanya sekali.

Kusiapkan pakaian terbaikku: celana abu-abu bukan jeans merk Gabrielle andalanku dan kemeja gelap bermotif garis-garis. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi lagi, aku dag dig dug saat melirik lcd hapeku, eh ternyata temanku dari Jogja yang menelpon: Andi. Andi teman satu kosanku waktu di Jogja. Aku sangat akrab dengannya, bahkan sudah seperti Tom & Jerry. Kuceritakan perihal panggilan wawancaraku, kebetulan Andi sudah pengalaman dengan wawancara kerja. Dia malang melintang di dunia pelamaran pekerjaan. Karena segudang ilmu dan pengalaman yang dia miliki, setiap lamaran yang dia kirim selalu mendapat respon yang baik. Bolak-balik Jakarta-Jogja hanya untuk wawancara kerja sudah sering ia lakukan. Namun selalu tak pernah ada kata sepakat mengenai salary. Salary: kata kunci terakhir. Aku pikir Andi terlalu tinggi mematok harga dirinya. Tapi wajar, juara tiga olimpiade matematika di Iran. Dia sering menyombongkan diri.

Mungkin Andi sengaja diutus Tuhan untuk menelponku. Kalo tidak diingatkannya, mungkin aku pergi wawancara dengan sepatu converse-ku, tidak dengan sepatu pantofel-ku. Sepatu yang hanya sekali ku pakai waktu wisuda dulu. Dan jelas ini kesan pertama yang harus meyakinkan.

Semua sudah lengkap. Setelan gaya eksekutif amatir lengkap dengan sepatu pantofel. Rambut yang biasanya acak-acakadul sengaja kurapikan dengan sedikit wax, dan tak pernah absen sepuluh jepret casablanca aqua. Masih jam sebelas lewat sedikit. Setelah sholat zhuhur, aku ke kampus lagi. Browsing peta Jakarta di internet. Ternyata tempat yang akan aku tuju dekat dari Pasarminggu. Yang aku tau dari Jakarta Selatan hanya Pasarminggunya. Aku sudah sering berkunjung kesana.

Jam duabelas pas aku berangkat. Tiba di Pasarminggu jam setengah satu.

“Ke Pejaten raya 51A, berapa ongkosnya?” sudah berada di atas ojek baru ditanyain, suatu kesalahan. Abang ojeknya tidak menjawab, dia masih ragu menetapkan tarif.

“Saya juga agak-agak lupa jalannya, gak begitu hafal nama jalan” jawab si abang ojek. Terjadilah berkeliling ria tak tentu arah.

“Oh ya bang, kayaknya di sini”. Aku menyetop perkelilingan tak tentu arah di depan sebuah sekolah tinggi: Next Academy, Pejaten Raya no.51. Aku teringat kata-kata Academy dari penelponku hari kemarin.

“Berapa, bang?” setelah turun baru kutanyakan lagi, kesalahan besar tentunya. Seandainya si abang bilang limapuluh ribu? Gimana? Tapi pake logika aja, ini gak begitu jauh.

“Terserahlah, mau bayar sepuluh ribu juga gak apa?” jawab si abang ojek. Kata “terserah” di depannya melambungkan aku ke langit dan seketika angka sepuluh ribu menghujamkan aku ke dasar bumi. Buset, perasaan Cuma muter-muter sini-sini saja dari tadi.

Tapi dimana rumah dengan no.51A. Pasti gak jauh dari sini. Dasar kota sembrawut, nomor rumah dipasang seenaknya, acak-acakan. Di samping no.51 kok ada no. 32, 20 dan sebagainya. Mustahil kutemukan no.51A kalo begini ceritanya. Aku mengutuki kota ini sendiri.

“PT. Rekamatra di mana, pak/bu?” setiap satpam, pedagang kaki lima atau orang yang kebetulan ketemu kutanyai. Tak ada yang tau. Seolah mereka juga baru dengar nama itu. Plakkkk, bodohnya aku. Aku memukul keningku sendiri dengan telapak tangan. Aku baru ingat. Mengapa tak kuhubungi aja nomor yang menelponku kemarin siang.

Tuutttt, tuutttt,…”Halo, PT. Rekamatra?”aku bertanya dengan ramahnya. “Bukan!” Tiiiiiiitttttttt……. Segera kututup teleponku. Memang gak sopan, dah salah sambung, gak minta maaf lagi. Gak mungkin aku salah sambung, ini nomor yang menghubungiku kemarin. Nomornya masih tersimpan di receive calls. Satu-satunya nomor asing yang menelponku kemarin. Mati aku, sudah jauh-jauh datang ke sini tapi alamat yang dituju gak jelas. Salahku, kemarin gak minta alamat sedetail-detailnya.

Tak ada salahnya aku coba ulangi lagi menelpon nomor yang tadi, sekedar memastikan. Tuutttt, tuutttt,…”Halo, apa benar ini PT. Rekamatra?” aku ragu-ragu. “Maaf, salah sambung. Mas yang tadi ya?” Tiiiiiiitttttttt……. Asem. Semua sudah terjawab, aku tertipu. Ku-setop angkot 36A jurusan Pasarminggu, aku pulang.



“Sial Hen, aku tak menemukan alamatnya, itu alamat fiktif”. Aku bagi kekesalanku pada Hendri yang tengah duduk di depan meja komputer kamarnya. “Aku sudah telepon juga, tapi nomornya salah sambung. Aku tertipu, Hen”. Aku sudah tau Hendri mau menanyakan itu, makanya ku jawab lebih dulu. “Kok bisa, Bel? hei hei. Gak mungkin menipu lah, lagian apa modusnya menipu kamu?” Hendri mencoba membesarkan hatiku. “Iya juga ya? Kok aku baru kepikiran. Apa gunanya mereka menipu aku?” keyakinanku yang telah pudar bangkit kembali. Gak mungkin mereka tau nomor telepon genggam-ku kalo aku gak kirim surat lamaran ke mereka.

Kusingkirkan dulu pikiranku dari masalah pekerjaan, kucoba fokus pada kuliahku. Aku capek berkelana seharian ini. Tapi aku tak kan menyesal. Ini pengalaman yang berharga bagiku. Satu hal yang dapat kupetik : mencari kerja itu gak mudah.

Aku kembali ke kamarku di lantai bawah. Aku capek dan ngantuk. Kulihat tangan kasur dan bantal sudah melambai-lambai, siap untuk memelukku. Dan tiba-tiba, Tuutttt, tuutttt,…telpon genggamku berbunyi lagi dari nomor yang menghubungi aku tadi siang.

“Halo, bener ini Afret Nobel?” Pertanyaan yang sama seperti kemarin, suaranya persis seperti orang yang menelponku kemarin.

“Ya, Pak, bener” jawabku singkat. Aku gak sabar ingin mendengarkan kata-kata si penelpon itu selanjutnya.

“Besok siang bisa datang ke kantor, sekitar jam dua!” Pertanyaan itu sama seperti kemarin, persis sekali. Tapi gak mungkin, kenapa dia menelponku seperti seolah-olah belum terjadi apa-apa sebelumnya. Kalo memang ini dari perusahaan yang kemarin, pasti pertanyaannya beda. Pasti dia menanyakan perihal ketidak-datanganku hari ini.

“Ya, bisa, Pak.” Kali ini aku lebih waspada. Aku sudah siaga dengan buku dan pulpen di tanganku.

“Catat alamatnya! PT. Methapora, Pejaten Raya 51A, Pasarminggu”

Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata si penelpon itu. Terjawab sudah teka-teki itu. Pantesan setiap orang yang kutanyai tidak mengetahui nama yang kutanyakan. Ternyata aku salah catat nama perusahaannya. Akupun balik bertanya. “Ini yang deket Next Academy itu ya, Pak?” Aku ingin memastikan.

“Iya, Betul sekali”

Benar dugaanku, aku salah catat nama perusahaannya. Kesalahan fatal. Catat itu.

“Bisa minta alamat detailnya, Pak! Soalnya tadi siang saya sudah ke sana, tapi tidak menemukan lokasi perusahaan bapak, saya sudah tanya-tanya kesemua orang yang saya temui, gak ada yang tau”.

“Masa sih, Anda tanya sama siapa? emang apa yang Anda tanyakan?”

“Satpam tua yang di depan Next Academy, pak.” Aku jawab singkat saja, dan pertanyaan yang kedua sengaja tak kujawab karena memang aku yang salah tanya.

“Keterlaluan sekali bapak itu gak tau.” Bapak si penelpon menyalahkan pak satpam itu. Aku jadi merasa bersalah. Kasian Bapak satpam tidak tahu apa-apa.



Hari ini hari Jum’at. Nanti jam sepuluh, aku dan teman-teman janjian main futsal di lapangan UI. Sialnya, setiba di lapangan, yang datang hanya enam orang. Gak apalah, sudah jauh-jauh datang mending main saja seadanya. Panasnya Depok siang itu membuat kami cepat lelah. Permainanpun selesai dalam waktu singkat.

Aku sudah menimbang-nimbang sebelumnya, aku akan berangkat mencari kantor itu sehabis sholat jum’at. Satu setengah jam perjalanan cukuplah.

Selepas sholat jum’at dan makan di warung nasi padang langganan. Aku berangkat menuju halte UI. Dari halte, aku naik angkot warna cokelat jurusan Pasarminggu, angkot 40A. Setibanya di pasarminggu, aku memberanikan naik angkot menuju pejaten. Gak naik ojek lagi, uangku pas-pasan.

“Angkot menuju Pejaten nomor berapa, Pak?” Aku bertanya pada seorang bapak petugas pengatur lalulintas Dishub, orang yang kuanggap bisa dipercaya.

“Naik aja M17!, ini angkotnya” beliau menjawab sambil menyetop angkot yang dia maksud.

“Terimakasih, Pak.” Pak Dishub gak peduli, dia sibuk mengatur lalulintas.

Sepanjang jalan mataku selalu awas, melirik kanan-kiri. Sedikit banyak aku sudah hafal jalan yang aku telusuri hari kemarin. Aku harus berhenti di Next Academy. Sesuai petunjuk dari bapak yang menelponku kemarin malam.

Angkot menelusuri jalan kolektor sempit, jalan Pejaten raya. Aku semakin waspada. Kanan-kiri aku amati. Jalan ini persis yang aku lalui kemarin. Hanya, pas dipertigaan itu angkot belok kiri, seharusnya lurus. Ya sudahlah, kuitkuti saja permainan si abang angkot ini. Ternyata diluar rencana, aku tersesat jauh sampai ke Jagakarsa, sangat bertolak belakang dengan jalur yang seharusnya kutuju. Sial.

Satu demi satu terungkap kecerobohanku. Mulai dari salah nama perusahaan, naik ojek sepuluh ribu jarak dekat, dan terakhir, yang ini, salah jurusan. Salahku juga kenapa gak bertanya dulu sama bapak angkotnya.

Aku terdampat di bawah jembatan tol Lenteng agung. Aku dirundung dilema. Sementara jam sudah menunjukkan pukul dua tigapuluh. Artinya aku telat menepati janji. Aku hampir putus asa. Kalo bukan karena motivasi dari Andrea Hirata, mungkin aku sudah naik angkot dan pulang ke kosan. Aku sudah sejauh ini. Aku gak mau semua berakhir dengan nihil. Setidaknya aku harus tau perusahaan yang menelponku itu. Setidaknya aku mencoba wawancara dulu walaupun sekiranya aku ditolak. Daripada seumur hidup aku menyesal.

Kubangun lagi semangatku, Bismillahirohmanirrohim…. Aku menyetop angkot menuju Pasarminggu lagi. Aku punya semangat baru. Aku mulai dari nol lagi. Aku melupakan semua kejadian yang membuatku hampir putus asa. Dan Alhamdulillah, aku sampai di tempat yang dimaksud dengan menaiki angkot no.36 dari Pasarminggu.

“Ternyata di sini tempatnya”. Aku bergumam sendiri dalam hati. Tempat ini tempat yang kemarin pernah aku lewati. Aku bertemu dengan bapak penelponku itu. Dan akupun menjelaskan mengenai ketidak hadiranku pada panggilan yang pertama.

“Owh, Rekamatra itu Cuma nama kami di email, perusahaan kami namanya PT. Methapora, jadi besok kamu datang lagi ke sini. Kamu mulai kerja besok.”

Akhirnya terjawab sudah perjuanganku dua hari ini. ^_^